Jumat, 24 April 2009

Islam Dan Lingkungan Hidup

A. Pengantar

Dalam menghadapi masalah kerusakan lingkungan hidup, tindakan saling menunjuk dan menyalahkan pihak tertentu yang dianggap harus bertanggung jawab bukanlah suatu sikap yang bijaksana. Hal lain yang lebih penting dilakukan adalah mengusahakan bersama langkah-langkah tertentu yang dapat dijadikan jalan keluar dari keruwetan krisis lingkungan hidup yang sudah, sedang dan mungkin akan terjadi.

Paparan di bawah ini adalah salah satu usaha pendekatan positif untuk melihat masalah lingkungan hidup sebagai suatu yang memang harus ditanggung bersama oleh penduduk bumi. Maka, dalam tulisan ini pertama-tama akan diperlihatkan bagaimana lemahnya kesadaran terhadap lingkungan hidup bisa menjadi salah satu alasan kurangnya perhatian orang terhadap lingkungan hidup. Kedua, dikaitkan dengan bidang agama, akan coba ditunjukkan bagaimana agama sering disalah mengerti sebagai lembaga yang menyebabkan dan menjadi latarbelakang kerusakan lingkungan hidup. Ketiga, secara khusus akan diperlihatkan bagaimana Islam mencoba menjawab pertanyaan apakah dirinya mungkin menjadi agama yang dapat memotivasi para penganutnya khususnya melalui bidang teologi dan fikih?


B. Masalah Kerusakan Lingkungan Hidup

Masalah kerusakan lingkungan hidup dan akibat-akibat yang ditumbulkan bukanlah suatu hal yang asing lagi di telinga setiap orang. Degan mudah dan sistematis setiap orang dapat menunjuk dan mengetahui apa saja jenis kerusakan lingkungan hidup itu dan apa saja akibat yang ditimbulkanya. Misalnya; dengan cepat dan sistematis mereka dapat mengerti bahwa eksploitasi alam dan penebangan hutan yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan bencana banjir, tanah longsor dan kelangkaan air bersih; membuang limbah industri ke sungai dapat menyebabkan kematian ikan dan merusak habitatnya; penggunaan dinamit untuk menangkap ikan dapat merusak terumbu karang dan biota laut, dan masih banyak lagi daftar sebab akibat yang biasa terjadi dalam lingkungan hidup kita. Yang menjadi masalah adalah bahwa pengetahuan yang sama atas pengenalan kerusakan lingkungan hidup dan akibat yang ditimbulkan tersebut belum terjadi dalam hal pemeliharaan dan perawatan lingkungan hidup—belum ada kesadaran yang kuat. Maka sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apa atau siapakah dapat mejadi menjadi motivator agar rasa tanggung jawab kesadaran orang untuk merawat dan memelihara lingkungan hidup tumbuh menjadi kuat?


C. Peran Agama Sebagai Motivator

Seringkali muncul pendapat bahwa agama adalah sebuah lembaga yang kurang memberikan motivasi pada para pengikutnya agar peduli terhadap lingkungan hidup. Bahkan tak jarang ada anggapan bahwa ajaran-ajaran tertentu suatu agama justru mendorong dan melatarbelakangi terjadinya kerusakan lingkungan hidup, misalnya saja adalah ajaran-ajaran tertentu yang dimiliki oleh agama Kristen dan Islam. Ajaran Kitab Suci dan al-Qur’an, khususnya tentang kisah penciptaan dan bagimana Allah menghendaki agar manusia menguasai atau memanfaatkan ciptaan-Nya yang lain, seringkali dijadikan alasan mendasar yang melatarbelakang kerusakan lingkungan hidup[1].

Pendapat tersebut di atas rasanya tidak lagi relevan sebagai suatu alasan dasar bagi penyebab terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Yang sering terjadi sebenarnya adalah kesalahan sebagian orang ketika membaca dan menghayati kisah penciptaan tersebut. Secara logis, Allah kiranya tidak akan menghendaki bahwa hasil karya ciptaan-Nya dirusak dan dieksploitasi sedemikian rupa (oleh manusia yang juga adalah sebagai salah satu ciptaan Allah) tanpa disertai tanggung jawab untuk memilihara. Tentunya, Allah menghendaki agar manusia sebagai ciptaan yang paling sempurna (dalam agama Kristen sering dikatakan secitra dan serupa dengan Allah) turut serta merawat dan memelihara ciptaan Allah sebagai miliknya sendiri. Maka, tidak masuk akallah jika manusia hanya berkehendak untuk menguasai dan mengekploitasi alam dan lingkungan hidup di sekitarnya.

Pendapat yang mengatakan bahwa ajaran keagamaan menjadi alasan dasar bagi terjadinya kerusakan lingkungan hidup semakin tidak relevan jika dilihat dari konteks perkembangan sejarah manusia. Maksudnya, tanda-tanda kerusakan lingkungan hidup sebenarnya terjadi seiring atau sejalan dengan perkembangan jaman modern hingga saat ini. Jaman modern adalah periode waktu yang muncul kemudian setelah Kristianitas dan Islam ada. Jaman modern adalah suatu jaman yang ditandai oleh penemuan alat-alat teknologi yang digunakan untuk menguasai dan menaklukkan alam, perkembangan industrialisasi dan peningkatan standar hidup yang bermuara pada tingkat konsumsi sumberdaya alam yang lebih tinggi[2]. Jadi, bukanlah suatu alasan yang tepatlah jika mengatakan bahwa kerusakan lingkungan hidup terjadi semata-mata karena didorong oleh faktor ajaran-ajaran keagamaan. Sebaliknya, jika dilihat dengan cara yang positif dan benar, agama justru memiliki peran yang cukup strategis untuk memotivasi para penganutnya agar peduli terhadap lingkungan hidup. Dengan kata lain, agama memiliki peluang yang sangat strategis untuk menjadi motivator kepedulian terhadap lingkungan hidup. Pertanyaanya kemudian adalah, bagimana hal itu diwujudkan?


D. Islam Sebagai Motivator

Agama Islam adalah suatu agama yang dipeluk oleh sejumlah besar penduduk bumi. Dapat dibayangkan betapa besar dampak kebaikanya terhadap lingkungan hidup jika seluruh penganut Islam memiliki kesadaran yang sama untuk memberikan perhatian yang serius terhadap lingkungan hidup. Maka dari itu, kiranya saat ini para tokoh Islam sangat perlu menggali lebih jauh unsur-unsur keagamaan mereka, entah itu unsur teologis, fikih atau unsur-unsur ajaran yang lain agar dapat membantu atau memotivasi para penganut yang lain untuk semakin mencitai dan bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup.


1. Pendekatan Teologis

Disadari bahwa al-Qur’an sedikit sekali berbicara tentang kejadian alam (kosmogoni)[3] dan lebih spesifik lagi lingkungan hidup. Namun, bukan berarti bahwa al-Qur’an tidak memberikan perhatian yang serius terhadap lingkungan hidup. Mungkin dengan alasan bahwa pada saat al-Qur’an diturunkan masalah lingkungan hidup belumlah menjadi masalah yang mendesak, masalah minimnya al-Qura’an dalam membahas masalah alam dapat dijawab. Sekarang, kiranya yang penting dibicarakan bukanlah mempermasalah keminiman al-Qur’an yang membicarakan tetang alam tetapi justru sebaliknya bagaimana menggunakan sedikit teks atau ajaran-ajaran di dalam al-Qur’an yang membicarakan tentang alam tersebut dan mengembangkan dasar-dasar teologis atau pun mungkin juga fikih dengan tujuan menyediakan perspektif baru bagi umat Islam agar semakin peduli terhadap alam dan lingkungan hidup.

Dalam bagian tertentu al-Qur’an dikatakan bahwa Allah adalah pemilik yang mutlak dari alam semesta dan penguasa alam semesta yang tak dapat disangkal disamping pemeliharanya yang maha pengasih. Karena kekuasaan-Nya yang mutlak maka jika Allah hendak menciptkan langit dan bumi, maka Dia berkata kepada keduanya: “Jadilah kalian, baik dengan suka maupun dengan terpaksa!”(41: 11)[4]. Secara implisit, teks yang baru saja disebutkan di atas dalam arti tertentu dapat diangkat menjadi suatu dasar teologi bagaimana Allah memperlakukan alam. Dalam teks tersebut dikatakan bahwa “Allah adalah pemilik dari alam semesta dan penguasa alam semesta yang tak dapat disangkal disamping pemeliharanya yang maha pengasih”. Melalaui teks itu ditunjukkan bahwa Allah sendiri sebagai pencipta alam semesta begitu mengasihi apa yang Ia ciptakan. Jika makna ungkapan itu ditarik agak luas, maka sangat mungkin sekali untuk dikatakan bahwa semestinya manusia dan alam, sebagai sama-sama bagian dari alam semesta, saling kasih mengasihi seperti Allah sendiri yang juga mengasihi mereka sebagai ciptaan-Nya.

Selanjutnya, di dalam pemahaman mengenai konsep-konsep kosmologis al-Qur’an tertentu, ciptaan Allah memiliki kedudukan yang cukup tinggi. Ciptaan Allah di seluruh jagad raya ini secara jelas disebutkan sebagai “ayat-ayat” Allah, misalnya dalam Surah’Ali Imran 190 disebutkan bahwa; Sesungguhnya dalam ciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat ayat-ayat Allah bagi orang-orang yang berakal (dapat menalar)[5]. Penghargaan yang cukup tinggi terhadap ciptaan Allah atau unsur-unsur alam terdapat juga dalam pandangan berberapa tokoh Islam, misalnya adalah al-Jahiz ketika membahas persoalan penafsiran mataforis fakta-fakta tekstual al-Qur’an dalam bukunya al-Hayawan. Di sana dikatakan bahwa ada orang-orang yang menduga bahwa batu merupakan makhluk berakal, berdasarkan Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah 74”…dan di antaranya (di antara batu) sungguh ada yang meluncur karena takut kepada Allah…,” sebagaimana ada yang menduga bahwa ada nabi-nabi untuk lebah-lebah berdasarkan QS. al-Nahl: 68, “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah”.

Beberapa petikan ayat-ayat al-Qur’an yang dikemukakan di atas kiranya semakin memperkuat bukti bahwa ada cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang dapat diangkat dan dijadikan semacam pedoman teologis guna membangun atau memperkokoh pendapat bahwa al-Qur’an secara langsung memberikan tempat yang penting terhadap ciptaan Allah dan unsur-unsur alam. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan pendapat-pendapat di atas rasanya tidak ada cukup alasan yang kuat bagi manusia untuk seenaknya melakukan eksploitasi terhadap alam dan ciptaan Allah yang lain. Sebaliknya, diharapkan akan muncul kesadaran dan kehendak mereka untuk menghargai alam dan ciptaan lain sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan cukup tinggi bahkan dekat dengan Allah.

2. Pendekatan Fikih

Dalam pendekatan teologis di atas, alam dan unsur-unsur ciptaan lain coba dipahami sebagai ciptaan Allah yang memiliki kedekatan sedemikian rupa dengan pencipta-Nya. Pemahaman tersebut sudah sangat bagus, akan tetapi rasanya masih kurang memadai. Artinya, rasanya perlu ada pendekatan lain yang lebih kuat untuk mengangkat ke permukaan persoalan lingkungan hidup serta bagaimana cara menanganinya. Pendekatan lain yang dimaksud adalah pendekatan fikih.

Mengapa pendekatan fikih perlu dalam membahas masalah lingkungan hidup, pertama-tama karena fikih yang berarti juga sebagai sistem pemikiran hukum Islam[6] dapat memberikan kepastian bagi mereka yang meyakininya. Dengan adanya kepastian tersebut orang atau umat Islam menjadi tidak ragu-ragu lagi bahwa masalah lingkungan hidup adalah masalah yang memang penting untuk diperhatikan. Selanjutnya, kepastian tersebut dapat diharapkan menjadi suatu sumber motivasi yang sangat kuat bagi umat Islam khususnya untuk semakin peduli terhdap lingkungan hidup.

Dalam konteks hukum Islam, pelestarian lingkungan hidup, dan tanggung jawab manusia terhadap alam banyak dibicarakan. Hanya saja, dalam pelbagai tafsir dan fikih, isu-isu lingkungan hidup hanya disinggung dalam konteks generik dan belum spesifik sebagai suatu ketentuan hukum yang memiliki kekuatan. Fikih-fikih klasik telah menyebut isu-isu tersebut dalam beberapa bab yang terpisah dan tidak menjadikannya buku khusus. Ini bisa dimengerti karena konteks perkembangan struktur masyarakat waktu itu belum menghadapi krisis lingkungan sebagaimana terjadi sekarang ini

Melihat situasi modern saat ini yang dengan jelas-jelas ditandai oleh kerusakan lingkungan hidup yang begitu dahsyat, rasanya fikih tentang lingkungan hidup perlu dikembangkan terus-menerus agar dapat menjawab kebutuhan jaman yang semakin menekankan pentingnya perlindungan terhadap lingkungan hidup. Dengan kata lain, pengembangan fikih lingkungan hidup kini bisa menjadi suatu pilihan penting di tengah krisis-krisis ekologis yang secara sistematis disebabkan oleh keserakahan manusia dan kecerobohan penggunaan teknologi.

Islam sebagai agama yang secara organik memperhatikan manusia dan lingkungannya memiliki potensi amat besar untuk melindungi bumi. Dalam al-Quran sendiri kata 'bumi' (ardh) disebut sebanyak 485 kali dengan arti dan konteks yang beragam. Di bagian lain komponen-komponen lain di bumi dan lingkungan hidup juga banyak disebutkan dalam alQur’an dan hadis. Sebagai contoh, manusia sebagai pusat lingkungan yang disebut sebagai khalifah terdapat dalam QS 2:30; segala yang di langit dan di bumi ditundukkan oleh Allah kepada manusia QS 45:13; dan sebagainya. Manusia, bumi, dan makhluk ciptaan lainnya di alam semesta adalah sebuah ekosistem yang kesinambungannya amat bergantung pada moralitas manusia sebagai khalifah di bumi[7].

Dalam kerangka pemikiran tersebut di atas, maka melindungi dan merawat lingkungan hidup menjadi semakin jelas sebagai suatu kewajiban setiap Muslim. Oleh karena itu, rasanya sangat perlu sekali gagasa-gasan yang telah terungkap di atas diintegrasikan dan disosialisaikan kepada segenap umat Muslim dan selanjutnya pada masyarakat luas dengan cara yang baru. Dalam hal ini, di Indonesia khususnya, para ulama memiliki peran penting untuk mewujudkan gagasan-gagasa yang telah dikemukakan di atas. Sebagai pribadi yang diberi label penerus para Nabi, ulama mempunyai kewajiban untuk memberikan sumbangsih riil bagi pembumian konsep fikih lingkungan hidup. Ulama harus meyakinkan publik bahwa tanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup menjadi “beban” setiap Muslim, bukan hanya institusi atau lembaga. Terlebih dalam konteks keindonesiaan, pembumian konsep fikih lingkungan hidup terasa menjadi demikian mendesak mengingat maraknya bencana alam yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan hidup[8].

Pandangan teologis dan fikih tentang lingkungan hidup yang telah diurakan di atas diyakini akan sangat bermanfaat untuk menanggapi krisis lingkungan hidup dan menyediakan landasan dasar motivasi bagi umat Muslim yang hendak mewujudkan perhatian dan kepeduliannya terhadap lingkungan hidup. Dalam konteks negara Indonesia, yang 80 % penduduknya adalah umat Muslim, tanggungjawab, kepedulian dan perhatian terhadap lingkungan hidup tersebut pastilah akan memiliki dampak yang luar biasa besarnya bagi terwujudnya keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.


E. Penutup

Krisis lingkungan hidup bukanlah suatu bentuk krisis yang tidak dapat diatasi oleh manusia. Sejauh manusia tahu dan menyadari bahwa kerusakan lingkungan hidup itu adalah akibat dari tindakan-tindakan mereka sendiri, tidak ada hal mustahil yang tidak dapat mereka tanggung. Yang sekarang menjadi persoalan adalah bahwa kesadaran untuk merawat dan memperhatikan lingkungan hidup belum sejalan dengan kerusakan yang terjadi. Terkesan bahwa masih ada banyak orang yang merasa enggan untuk memulai atau meneruskan opsi mereka terhadap lingkungan hidup. Dalam keadaan seperti itu, peran agama menjadi sangat penting. Pertama-tama karena sebagian besar penduduk bumi adalah orang-orang yang beragama. Kedua, karena melalui agama dapat dilahirkan banyak nilai-nilai positif terhadap alam dan lingkungan hidup yang diharapkan dapat membantu kesadaran banyak orang (paling tidak bagi mereka yang beragama) atas krisis yang sekarang ada. Dengan kata lain, agama dapat menjadi motivator atau agama dapat menjadi media paling strategis guna membangun semangat untuk peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Dengan cara itu pula, agama bisa mengabaikan atau menganggap tidak penting tuduhan yang sering ditujukan kepadanya sebagai “lembaga iman” yang menjadi penyebab dan latarbelakang kerusakan lingkungan hidup.

Agama Islam adalah salah satu agama yang memiliki penganut cukup besar di dunia. Dalam arti terntu Islam dapat menjadi agama yang berperan penting dalam usaha menyelamatkan bumi dari krisis yang dihadapinya. Paling tidak, ada dua cara yang dapat dilakukan Islam sebagai wujud tanggapan atas masalah kerusakan lingkungan hidup. Yang pertama adalah dengan cara menyerukan lebih lantang dimensi teologis tentang alam serta relasinya dengan Allah sebagai sumber iman Islam. Kedua, dengan melakukan pengembangan fikih atas lingkungan hidup yang lebih memadai dan lebih luas. Diharapkan, melalui dua cara tersebut akan ada perubahan yang signifikan bagi penganut Islam yang nantinya juga berarti bagi kebaikan ekologi bumi.

Dieng SJ

Isu Lingkungan dan Ideologi Islam




Misri Gozan
(Dosen Fakultas Teknik UI, Fellow pada LEAD Internasional, 
Advisory Board ISTECS cabang Eropa)


Ke mana akan terus bergulir isu lingkungan hidup? Di sebuah pamflet yang beredar di kota Karlsruhe, di selatan Jerman, terpampang tulisan yang artinya: ''Manusia berakal tak makan makhluk yang bermata''. Sekadar vegetarianisme? Atau sudah menyentuh sumsum ideologi?

Tidak bisa tidak, isu lingkungan hidup sudah menyentuh batas-batas kurva dan bangun ideologi. Isu ini sudah mempertanyakan, benarkah cara hidup saya? Banyak manusia bertanya dengan nada ragu kepada dirinya sendiri, apakah manusia berhak ''membunuh'' hewan tertentu untuk alasan kebutuhan pakaian dan pangan? Suatu pertanyaan yang seolah bernada arogan dan akan ditanggapi sinis bila dilontarkan di belahan dunia lain yang masih berjibaku menahan kematian karena kelaparan.

Tuntutan para pemerhati lingkungan hidup telah beranjak jauh dari sekadar menikmati alam yang nyaman. Kini tibalah manusia pada pertanyaan yang sangat mendasar dari perjalanan isu lingkungan ini. Sampai kapankah bumi ini terus-menerus mencukupi kebutuhan manusia akan bahan-bahan alami? Sampai di manakah sebenarnya kesanggupan tanah, air dan udara dalam memikul beban-beban pencemaran?

Isu pemanasan suhu permukaan bumi, perubahan klima dalam kaitannya dengan gejala-gejala alami yang tidak menyenangkan (datang dan perginya musim yang tak menentu, kegagalan panen, rusaknya ekosistem, kehilangan keanekaragaman hayati, dll). Jelas bencana ala ini tidak sepenuhnya ''man made'', namun faktor anthropogenic demikian besar di dalamnya, sehingga mengharuskan manusia yang arif untuk berpikir dan berupaya keras memperbaiki segala tindak-tanduknya di muka bumi.

Kita bisa saja tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Namun pasti, bahwa penyadaran akan betapa semakin kompleksnya isu lingkungan hidup melibatkan banyak disiplin ilmu, bahkan sekali lagi, menyentuh ruang-ruang pembicaraan ideologi.

Karenanya, penulis yakin bahwa Islam sebagai sebuah ideologi yang bukan ciptaan manusia mampu menjawabnya. Sebagai ideologi yang disampaikan lewat wahyu dan satu-satunya yang diridhai oleh Allah Sang Maha Pencipta (QS 3: 18), tentu memiliki jawaban mendasar dan bahkan dengan kaca matanya sendiri memiliki rancangan unik untuk alam raya ini.

Alam yang Ditundukkan
Lingkungan adalah bagian hidup manusia yang berada di luar ''battery limit''-nya. Tak ayal lagi, semesta pembicaraan isu lingkungan mengharuskan kita, umat Islam, kembali lagi merujuk pada petunjuk hidupnya. Al-Islam. Islam adalah jalan hidup yang sempurna. Alquran yang mulia mengatakan bahwa Allah SWT adalah Pencipta Alam (Al-Khaaliq) yang sekaligus Pemelihara Alam Semesta (Rabbul 'aalamiin) dan yang juga memiliki sifat-sifat Maha Adil dan Bijaksana (Al-Hakiim).

a. Khalifatullah yang berpikir
Banyak penafsiran yang berkembang terutama dengan berpijak pada ayat 30 surat al-Baqarah ini (''Inni jaailun fil ardhi khaliifah''). Penulis tidak bermaksud memperluas khasanah penafsiran ayat tersebut, karena kapabilitas kami masih jauh dari golongan para mufassir (yang ahli menafsirkan). Namun kiranya unsur ''tanggung jawab'' dalam kata ''khalifah'' cukup tersirat. Manusia bertanggung jawab karena dapat berbuat sesuatu dengan bebas pilih (''fa alhaamaha fujuuroha wa taqwaaha''). Manusia diilhami dengan keburukan dan sekaligus juga tabiat ketakwaan.

Manusia juga dibekali dengan kemampuan berpikir yang berulang kali Allah menggugahnya (''afala ta'qiluun, afala tatafakkarun'' dsb). Apa pun pilihannya, kerusakan atau perbaikan, sebagian alam ini ditundukkan untuk manusia (QS 36: 72), bahkan hal-hal yang belum pernah dibayangkan manusia sebelumnya (QS 43: 12-13).

Walaupun demikian, Allah mengingatkan akan tugas kita sebagai pemakmur bumi ini (QS 11: 61) yang menegaskan arti penting kehadiran manusia di bumi beserta ''perlengkapan tugas'' yang sudah disiapkan Allah SWT dalam bentuk ''paket nalar dan nurani''.

b. Adanya ''hukum-hukum'' yang tetap berlaku di alam ini (Sunatullah)
Mahasuci Allah yang telah menciptakan alam ini tidak dengan sia-sia (QS 3: 191). Setiap gerakan awan dan turunnya hujan, lintasan elektron di orbitnya, bintang dan planet di tatarannya, pasti mengikuti pola aturan tertentu. Dengan mempelajari aturan dan pola ini, manusia bisa memperkirakan gerakannya, mengambil faedah darinya, serta menggunakannya untuk menembus langit (QS 55: 33).

Allah SWT bukan hanya menunjukkan bahwa Dia Mahatahu atas segala ciptaan-Nya, namun menegaskan bahwa ada ketentuan-ketentuan ilmu yang pasti (QS 30: 30), dengan demikian mendorong manusia untuk mengoptimalkan fungsi akalnya yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Hukum-hukum ''alam'' ini tetap berlaku sepanjang masa pada terpisahnya air tawar dan air asin. Dia Yang Mahalembut menjelaskan adanya kaidah astronomi dalam distribusi benda-benda langit (QS 6: 97 dan 16: 16). Seringkali, beberapa ayat, khususnya tentang geologi (QS 21: 31; 16: 15) dan peredaran waktu serta rotasi bumi (QS 25: 45-46; 22: 61), seolah menantang manusia berpikir akan ''rahasia'' penciptaan alam raya ini.

Permainan matematika serta ilmu fisika, kimia, biologi, dan perpaduan dasar-dasar ilmu tersebut terlihat anggun dan menakjubkan, tak bercacat dan terbentangkan sampai pada setiap unit terkecil ciptaan-Nya. Sudah berbilang para ilmuwan yang menemui pintu hidayahnya setelah jatuh hati pada kedalaman ajaran Islam (baca: wahyu) yang dibawa Muhammad SAW yang ummi (buta huruf) lebih 15 abad yang silam.

Dua bangun logika ini, tanggung jawab sebagai khalifah dan keteraturan alam dengan sunatullahnya, menempatkan manusia pada satu posisi yang teramat penting. Dengan begitu, manusia, sebagai hanya salah satu spesies dari bermiliar-miliar spesies ciptaan (al-makhluq) Allah SWT (al-Khaaliq), terlalu penting untuk dibiarkan semena-mena berjalan dan beraktivitas, dengan segala pengaruh positif dan dampak negatifnya, di permukaan bumi.

Terlalu naif, jika manusia terlunta-lunta merenungi nasibnya sambil membayangkan kesendiriannya di tengah jagad raya yang seolah tak berbatas ini, jika makhluk yang dibebani tanggung jawab besar ini tidak dibekali dengan petunjuk dari langit (hidayah) oleh sang Inovatornya (Allah SWT).

Dua bangun logika di atas juga mengarahkan pemikiran kita, bahwa jika manusia menerapkan hukum yang diajarkan oleh Allah, yaitu ayat-ayat qouliyah (Alquran) dan kauniyah (hukum-hukum alam) dengan benar, manusia pasti akan sampai pada satu keteraturan dan keserasian dengan peredaran alam semesta ini. Harmonisasi.

Sebaliknya, jika perbuatannya mengikuti segala hawa nafsunya belaka, maka kehancuranlah yang terjadi (QS 23: 71): ''Seandainya kebenaran itu mengikuti hawa nafsumu, akan rusak binasalah alam ini''. Kesalahan-kesalahan yang barangkali ''manusiawi'' sekalipun, bisa saja memorak-porandakan tatanan alam (QS 30: 41).

Berulang kali ayat-ayat Alquran mengingatkan manusia untuk berlaku takwa. Sikap yang, menurut ibnu Mas'ud (dalam pengantar tafsir Ibnu Katsir), dianalogikan seperti rasa takut melewati jalan berduri, berhati-hati, penuh perhitungan.

Titah Allah SWT kepada manusia Muslim untuk berbuat secara bertanggung jawab dan harus dengan ''ilmu'' (QS 17: 36) juga dikaitkan dengan dimensi ''masa depannya'' (QS 59: 18). Dimensi masa depan ini sering ditafsirkan dengan hari di mana manusia dimintai segala pertanggung-jawabannya (yaumul akhir, yaumul ba'ts).

Walaupun demikian, Rasulullah SAW sang suri tauladan, dengan sangat arif dan manis memadukan dimensi akhirat dan ''masa depan bumi'' dalam satu nilai ''ketakwaan''. Beliau mengingatkan kita untuk tidak meninggalkan generasi yang ''lemah'' di kemudian hari. Beliau tetap menanam pohon walaupun seandainya kita tahu esok hari akan kiamat (al hadits). Bahkan di dalam kondisi dan situasi kemanusiaan yang paling ''parah'' sekalipun, yaitu peperangan, manusia mukmin diminta dengan tegas untuk tidak menghancurkan pepohonan (simbol ''bumi''), di samping tidak membunuh anak-anak dan wanita (isyarat ''masa depan'') dan rumah ibadah (perlambang kedekatan diri dan jalan menuju Tuhan).

Barangkali, terminologi ''Pembangunan Berkelanjutan'' (PB) atau Sustainable Development yang dikumandangkan oleh Komisi Bruntland pada tahun 1987 menemui relevansinya di dalam ideologi Islam. Direktur Jenderal WHO ini memang banyak memfokuskan diri pada kestabilan populasi. Namun, dalam perkembangannya, ide PB ini mencakup berbagai manajemen sumber daya alam. Beliau menyatakan: ''... a development that meets the need of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs.''

Ayat-ayat di atas telah panjang lebar menerangkan keharusan kita bersikap arif dan tidak merusak alam karena semua dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Ide untuk membangun, dalam artian juga memanfaatkan sumber-sumber daya alami, dengan tetap mengompromikan kepentingan masa depan kiranya tidak terlalu sukar dipahami oleh manusia yang beriman.

Ajaran akhlak Islami yang disarikan dari keteladanan Rasulullah SAW tidak memperbolehkan sikap serakah (tasrif, QS 7: 31), sikap menyia-nyiakan (tabdziir, QS 17: 27). Akhlak serta asas keadilan dan juga menempatkan sesuatu pada timbangannya (mizan) dikupas tuntas di dalam beberapa ayat Alquran dan juga hadits Nabi.

Kisah para nabi (terutama nabi Sulaiman dan Yusuf as) selayaknya mengilhami benak para penguasa tentang bagaimana mengelola suatu wilayah. Keberhasilan serta kegagalan mengelola suatu sumber daya alam, akan sangat menentukan dalam perjalanan suatu masyarakat, bahkan dunia.


Isu lingkungan hidup tidak berhenti pada kenyamanan tempat tinggal dan keindahan lingkungan belaka, namun sudah mempertanyakan makna serta hakikat hidup kita di alam semesta. Sebagai din yang lengkap mengatur kehidupan manusia dan muamalah sesama makhluk, maka Islam membingkai isu lingkungan ini dengan dasar ideologis yang kuat. Alam dipandang sebagai tempat yang perlu dimakmurkan dan dipelihara oleh khalifatullah fil ardh, yaitu manusia. Manusia memiliki kebebasan memilih perbuatan baik dan buruk. Tentu dengan konsekuensinya, di dunia maupun di akhirat nanti. Bagi Muslim paripurna, menjaga keberlangsungan sumber daya alam dengan cara yang islami adalah suatu keharusan dan bernilai ibadah.

Kontribusi dari Misri Gozan *)
Senin, 06 Juni 2005

Rabu, 15 April 2009

Kematian; Inspirasi untuk Menikmati Kehidupan


Serem ya Judulnya? Emang siapa yang mau mati? padahal kita akan mengalami hal itu, mungki detik ini, besok , minggu depan, bulan depan, tahun depan dan seterusnya. kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada kematian kita? dan bagaimana kita menghentikan hidup ini semuanya misteri ... mungkin kita membayangkan kalau kita mati pasti diatas kasur, kebayang ga kalau kita mati karena tertusuk duri, mungkinkah? tidak ada yang tidak mungkin dengan kematian itu. semuanyanya mungkin.

kenapa kita harus takut dengan kematian? toh mati tidak bisa di ajak kompromi. misalnya kita minta untuk meminta menunda kematian. Imposible... Tapi ada satu hal yang perlu kita perhatikan kematian itu harus kita siapkan, agar kematian kita tidak sia-sia. beruntunglah orang yang mati, ketika mati Meninggal kebahagian pada orang lain. bagaimana dengan yang tidak?.

Nah... mempersiapkan kematian ini ternyata adalah satu cara Untuk menikmati kehidupan kita yang hanya berjalan diatas hidungan detik. Ini hanya sebuah pemikiran bahwa kematian sangat erat dan berkaitan dengan kehidupan. Tanpa kehidupan maka kematian tidak akan pernah ada.Ini sekedar membalik pemikiran kita untuk mencari inspirasi dan motivasi dalam hidup, mencari tujuan hidup. Untuk apa sebenarnya kita hidup?.
Aku tidak tahu dengan pasti, apa yang sedang anda cari dalam hidup ini. Dan apa yang sudah anda dapatkan. Mungkin yang anda cari adalah uang, jabatan, karier atau apa saja. Dan mungkin anda sudah mendapatkannya, mungkin juga belum. Tapi itu adalah tentang materi. Hal-hal yang berwujud fisik. Tulisan ini akan berbicara mengenai sebuah nilai -Nilai Kehidupan- sebuah nilai yang akan kita gali dari berakhirnya kehidupan, yaitu saat datangnya kematian.

Cobalah untuk merenung sebentar, dan pikirkanlah pertanyaan-pertanyaan ini:
Ketika Anda nantinya meninggal:

1. Siapa saja yang akan menghadiri pemakaman anda?
2. Apakah kesan-kesan para pelayat ketika mereka mengenang masa-masa hidup anda?
3. Karena apakah anda meninggal?
4. Umur berapa anda saat anda meninggal?
5. Apa yang anda tinggalkan / wariskan kepada keluarga anda?

Ketika anda bisa mendapatkan gambaran yang jelas tentang jawaban-jawaban pertanyaan tersebut, tuliskan hal ini menjadi sesuatu yang harus anda capai selama anda masih hidup. Ini akan menjadi inspirasi dan motivasi anda dalam menjalani kehidupan. Sekaligus sebagai pedoman anda.

Misalnya, kalau anda tidak mau meninggal karena penyakit jantung, so mulai saat ini anda akan menjaga kesehatan jantung anda. Hindari kegemukan dan makanan-makanan berkolesterol.

Ini bukan bermaksud untuk mendahului kewenangan Tuhan dalam masalah kematian. Hanya mengajak anda untuk memikirkan dan membayangkan kematian. Anda jangan mati dulu. Hanya membalik proses pencarian tujuan hidup. Kadang sulit ketika ditanya, “Apakah yang anda cari dalam hidup ini?”
Mempersiapkan kematian merupakan suatu langkah kecil dalam menjalani kehidupan dengan segala kemampuan yang kita miliki, menggunakan dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan tujuan hidup kita.

Hidup dengan menikmati dan mensyukuri apa yang kita punya. Mempersiapkan kematian berarti kita sedang mencari arti kehidupan sejati.

Cara Berpikir Positif

Kesuksesan bermula dari pikiran. Mereka yang sukses pasti memiliki beberapa pilar cara berpikir sukses. Cara berpikir sukses ini juga diperlukan dalam masa ledakan informasi dan bergulirnya berbagai perubahan dengan cepat. Apa saja ketujuh pilar tersebut? Ingin tahu? Simak yang berikut ini.

Howard Gardner pencetus teori Multiple Intelligences membahas lima cara berpikir dalam bukunya, Five Minds for the Future. Lima cara berpikir ini dilengkapi lagi dengan tambahan dua cara berpikir, sehingga menjadi tujuh cara berpikir sukses berikut.

Cara berpikir Interdisipliner
Menurut Gardner, cara berpikir seperti ini merupakan tuntutan untuk meramu dengan harmonis beberapa disiplin ilmu dan setidaknya satu keterampilan dasar.
Misalnya, seorang guru, bukan hanya harus menguasai ilmu dan keterampilan keguruan, tetapi juga harus memperkaya diri mengenai beberapa ilmu dari disiplin lain, antara lain ilmu psikologi, ilmu antropologi, dan ilmu filosofi. Dengan demikian sang guru menjadi mampu melakukan pekerjaan dengan kualitas unggul. Demikian pula dengan profesi lainnya, dokter, pebisnis, ekonom, dan ahli hukum. Jadi proses belajar jangan berhenti ketika lulus dari bangku pendidikan formal, tetapi harus berlanjut seumur hidup.

Cara berpikir Sintesis
Cara berpikir ini sangat diperlukan dalam era informasi yang berlimpah. Kita harus bisa mensintesa informasi, atau memilah-milah informasi dan memilih serta mengintegrasi informasi dan pengetahuan yang kita perlukan untuk menyelesaikan pekerjaan, mencari solusi terhadap masalah, ataupun memberikan rekomendasi dan menjawab pertanyaan.

Cara berpikir Mencipta
Cara berpikir ini diperlukan untuk menemukan dan memahami hal-hal baru, misalnya ide baru, masalah baru, fenomena baru, ataupun solusi baru. Hal-hal baru inilah yang nantinya menjadi pelopor terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik. Penemuan terhadap hal-hal baru ini tidak perlu dilakukan dengan menunggu sampai adanya tuntutan untuk mencipta, tetapi lebih jauh lagi—perlu dilakukan secara berkesinambungan, dan terus-menerus, agar tidak menjadi pengikut perubahan tetapi justru sebagai pencipta perubahan.

Cara berpikir Respek
Cara berpikir yang satu ini adalah cara berpikir yang menyadari dan menghargai berbagai perbedaan yang ada di antara umat manusia, baik dalam budaya, kepercayaan, pendapat, dan juga cara berpikir. Dengan menerapkan respek terhadap perbedaan, kita justru membuka mata dan pikiran terhadap berbagai perbedaan tersebut yang bisa memperkaya hidup kita karena kesadaran akan keragaman tersebut. Sebaliknya, cara berpikir respek ini juga membuka mata orang lain untuk menghargai buah pikiran kita.

Cara berpikir Etis
Gardner menjelaskan bahwa cara berpikir etis merupakan pemenuhan tanggung jawab seseorang terhadap pekerjaannya ataupun peranannya dalam keluarga (sebagai anggota keluarga), masyarakat (sebagai anggota masyarakat), negara (sebagai warga negara), maupun dunia profesional yang ditekuninya (sebagai karyawan ataupun pelaku usaha). Etika yang berhubungan erat dengan tanggung jawab inilah yang penting untuk menambah nilai unggul seseorang hingga bisa dibedakan dari orang kebanyakan.

Cara berpikir Positif
Satu poin yang bisa ditambahkan dari kelima cara berpikir yang dikemukakan oleh Howard adalah cara berpikir positif. Dalam hidup ada berbagai tantangan yang harus dan akan dihadapi. Tantangan kegagalan, kesulitan, penolakan dan berbagai tantangan lainnya. Semua ini harus dihadapi dengan cara berpikir positif. Dengan berpikir positif, kegagalan menjadi pengalaman hidup yang berharga yang bahkan bisa mendorong seseorang menggerakkan cara berpikir mencipta untuk menemukan solusi baru.

Cara berpikir Jangka Panjang
Kesuksesan akan sia-sia jika hanya dapat dinikmati sesaat saja. Untuk itulah seseorang perlu menerapkan cara berpikir jangka panjang, agar keseimbangan dan kebahagiaan yang diraih bisa tetap dinikmati di masa mendatang. Cara berpikir ini terkait erat dengan cara berpikir etis dan respek terhadap hak orang lain, termasuk hak para generasi penerus untuk juga menikmati kenyamanan dan kesuksesan yang telah diraih.
Dunia saat ini terutama di masa depan membuat kita harus menghadapi berbagai tuntutan, perubahan, dan tantangan. Kesemuanya ini akan lebih mudah dihadapi dengan ketujuh cara berpikir yang baru saja dibahas. Bagaimana dengan Anda? Cara berpikir yang mana yang sudah Anda miliki? Mulailah menginvestasikan usaha dan waktu untuk menerapkan cara berpikir yang belum Anda coba. Selamat berpikir dan sukses untuk kita semua.

Sementara dari beberapa literatur yang saya baca ada beberapa tips berikut terbukti cukup membantu. Cobalah untuk menjalankan kegiatan-kegiatan berikut ini sebanyak mungkin dalam hidup kita. Sebagaimana untuk mencapai hal-hal lainnya, untuk menjadi seorang yang berpikiran positif, prosesnya harus dilakukan secara terus-menerus :

1. Pilihlah sebuah kutipan yang bernada positif setiap minggunya dan tulislah kutipan tadi pada selembar kartu berukuran 3 x 5. bawalah kartu tadi setiap hari selama seminggu. Baca dan camkanlah kutipan tadi secara berkala dalam sehari dan jadikan afirmasi, misalnya di meja kerja Anda, di dashboard mobil, atau di cermin kamar mandi. Jadikanlah setiap kutipan tersebut bagian pemikiran Anda selama seminggu itu.

Contoh :
“Seorang pemimpin yang baik adalah yang bisa membesarkan semangat dan harapan-harapan kepada anak buahnya.” (Napoleon Bonaparte). “Hari ini saya ingin menolong orang sebanyak mungkin” (Harry Bullis)

2. Pilihlah seseorang yang dalam hidup Anda yang Anda anggap berpikiran negatif. Cobalah cari hal-hal yang positif dalam diri orang itu dan ubahlah pikiran-pikiran negatif Anda mengenai orang tersebut dengan hal-hal positif tadi. Sebagai orang beragama, tolong doakan pula orang tersebut dengan hal-hal positif tadi dan mohonlah agar Tuhan menolongnya.

3. Pilih satu hari istimewa dalam seminggu dan jadikanlah hari itu sebagai “hari 10″. Bangunlah pada pagi hari dan yakinlah bahwa setiap orang yang akan Anda temui bernilai “10″, dan perlakukanlah mereka secara demikian. Anda pasti akan heran sendiri melihat tanggapan yang akan Anda peroleh dari orang-orang yang selama ini Anda anggap remeh.

4. Tandai suatu hari dalam seminggu sebagai “hari berpikiran positif.” Hapuslah kata-kata “tidak dapat,” “tidak pernah,” atau kata-kata lain yang senada, usahakan agar Anda menemukan cara untuk mengatakan apa yang bisa Anda lakukan.

5. Paling tidak sekali dalam seminggu, carilah suatu kesempatan untuk bisa memberi kepada orang lain dengan tulus. Lakukanlah suatu yang khusus pada suami/istri ataupun anak-anak Anda. Berbuatlah suatu kebaikan pada seseorang yang belum Anda kenal.

Ada beberapa yang juga bagus yang bisa anda praktekkan dalam kehiupan sehari-hari seperti yang ditulis oleh seorang motivator bernama Williams, Aurelia. dalam bukunya Dump the Junk & Think Positively berikut beberapa tulisannya :

1- Selalu gunakan kata-kata yang positif saat Anda berpikir dan berbicara. Gunakan kata-kata seperti "Tuhan pasti memampukanku", "Dengan pertolongan Tuhan, aku pasti bisa melakukannya", dll.

2.Biarkan pikiran Anda dipenuhi dengan kebahagiaan, kekuatan, dan keberhasilan. Apa pun situasi yang Anda hadapi, carilah dan isilah pikiran Anda dengan sisi positif dari situasi tersebut. Dalam segala sesuatu, sisi positif dan negatif selalu ada. Seburuk apa pun situasi yang Anda alami, pasti ada sisi positif yang terkandung dalam situasi itu. Mungkin sulit untuk melihat sisi positif dari apa yang Anda alami, tapi cobalah lihat lebih dalam, sisi positif itu pasti ada.

3.Cobalah untuk menghilangkan dan mengabaikan pikiran yang negatif. Gantikan pikiran yang negatif dengan pikiran-pikiran yang membangun. Ganti pikiran: "saya tidak bisa melakukan hal ini" dengan "saya bisa melakukan hal ini dengan lebih baik setiap saat saya memohon penyertaan Tuhan dan mencoba melakukannya".

4.Sebelum melakukan sesuatu, jangan bayangkan sebuah kegagalan, tapi bayangkanlah keberhasilan yang Anda akan dapat setelah melakukan sesuatu hal tersebut. Jika Anda membayangkannya dengan sungguh-sungguh dan penuh iman, Anda akan terheran-heran dengan apa yang terjadi nantinya.

5.Cobalah untuk tidak memikirkan sesuatu secara berlebihan. Sering kali kita terjebak untuk terlalu banyak berpikir dan menghabiskan banyak waktu untuk menimbang-nimbang atau memikirkan apa yang orang lain mungkin pikirkan tentang diri kita. Hal itu akan membuat Anda tidak bisa mengeluarkan kemampuan terbaik Anda.

6.Penuhi pikiran Anda dengan talenta-talenta anugerah Tuhan yang Anda miliki. Jangan biarkan pikiran Anda dipenuhi dengan kelemahan-kelemahan yang mungkin Anda miliki. Dengan memikirkan setiap talenta yang Anda miliki, nantinya Anda akan semakin mengenali kemampuan Anda yang membedakan Anda dari orang lain. Jadikan cara berpikir yang demikian itu sebagai topi Anda. Jangan pakai "topi pikiran negatif".

7.Bergaullah dengan orang-orang yang berpikir positif. Pikiran yang positif itu seperti penyakit menular. Jika Anda berada di dekat orang-orang yang pikirannya dipenuhi kebahagiaan dan keoptimisan, Anda akan secara otomatis dipengaruhi oleh cara berpikir mereka yang positif.

8.Bacalah buku-buku yang membangkitkan inspirasi -- setidaknya satu halaman setiap harinya. Buku-buku inspiratif seperti itu akan membantu Anda untuk dapat berpikir positif.

9.Biasakan untuk selalu duduk dan berjalan dengan punggung tegak. Kebiasaan seperti itu akan membantu meningkatkan rasa percaya diri dan kekuatan yang ada dalam diri Anda.

10.Berjalan, berenang, atau berolahragalah. Hal-hal tersebut akan membantu Anda untuk mengembangkan pikiran dan sikap yang lebih positif.

SILAHKAN anda Coba Semoga Bermanfaat ... !!!

Sabtu, 04 April 2009

Erotisme Kampanye Partai Politik

Ini bener-bener pesta demokrasi. kebebasan berekspresi, berkreatifitas seakan tidak berbenturan dengan apapun. katakan etika, moral, dan sikap yang mendidik. semuanya hancur-hancuran demi tercapainya superioritas kekuasaan.

kampanye yang seharusnya menjadi sarana komunikasi yang efektif untuk menyampaikan visi dan misi partai politik kepada konstituen menjadi kabur. Goyangan erotis nan sensual dari para artis pengiring kampanye partai politik maenjadi daya tarik tersendiri bagi orang untuk menghadiri kampanye. Menjadi catatan tersendiri, kenapa? kita bisa melihat motivasi orang-orang yang datang ke acara kampanye partai poolitik bukan mau cerdas lagi "terlepas mereka dikasih uang oleh parpol" tetapi bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan syahwatnya dengan datang ke arena kampanyae.

selain itu kampanye itu harus mendidik dan mencerahkan. okelah, kita sadar mendatangkan artis untuk mempertontonkan goyangan erotisme mereka sebagai cara untuk mendatangkan massa dalam jumlah yang banyak. perlu dicatat massa yang banyak tetapi tidak mendapatkan pencerahan sama saja halnya dengan bohong, toh mereka akan pulang dengan kepala kosong, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan setelah pulang dari kampanye. 

Sudah seharusnya bagi partai politik untuk memikirkan cara yang berbeda, bagaimana caranya mengumpulkan massa yang banyak tanpa mempertontokan erotisme secara vulgar. masih banyak cara lain yang lebih elegance dan bermartabat yang bisa dilakukan oleh partai politik untuk meraih simpati massa.

lebih miris lagi ketika kita melihat tanyangan di televisi banyak kampanye yang menampilkan goyangan erotis ternyata ditonton oleh anak-anak. sadar atau tidak secara tidak langsung kampanye parpol akan menkonstruk mereka untuk menjadi cabul.

Kampanyae adalah media dimana semua nilai ideologis parpol dipasarkan kepada massa konstituen. pemasaran ideolgi yang dilakukan dengan baik dengan sendirinya akan memperkuat dan meyakinkan massa rakyat untuk memilih parpol tertentu tanpa harus diiming-imingi libido.
.

Jumat, 27 Maret 2009

LINGKUNGAN DALAM PERSFEKTIF ISLAM


Oleh : Decky Umamur Rais *)

Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan penuh harap (akan dikabulkan). Sesungguhnya, rahmat Allah sungguh dekat dengan orang-orang yang berbuat baik..
(QS. al-A’raf/7: 56)

Eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam dilihat sebagai penyebab utama terjadinya bencana alam seperti longsor maupun banjir di Indonesia dalam kurun waktu setahun terakhir ini. Bencana alam ini tidak hanya telah mengakibatkan ratusan manusia kehilangan nyawa, tetapi juga ribuan manusia kehilangan tempat tinggal mereka.

Bencana lingkungan seperti tsunami, banjir, tanah longsor, lumpur, dan gempa adalah sederet bencana yang datang silih berganti. Tetapi, bencana-bencana tersebut tidak selamanya disebabkan faktor alam. Banjir dan tanah longsor misalnya, merupakan bencana yang tidak bisa dipisahkan dengan faktor manusia yang kurang ramah dengan alam dan lingkungannya sendiri.

Malapetaka ini disebabkan oleh rusaknya lingkungan dan hancurnya ekosistem alam, krisis ekologi, karena kerakusan manusia, eksploitasi liar tan pa henti terhadap alam adalah bukti kngkrit pada saat ini.

Dalam pelajaran ekologi manusia, kita akan dikenalkan pada teori tentang hubungan manusia dengan alam. Salah satunya adalah anthrophosentis. Di sana dijelaskan mengenai hubungan manusia dan alam. Dimana manusia menjadi pusat dari alam. maksudnya semua yang ada dialam ini adalah untuk manusia.

Allah SWT. juga menjelaskannya dalam Al Qur’an, bahwa semua yang ada dialam ini memang sudah diciptakan untuk kepentingan manusia.“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (al Baqarah: 29). tapi berbeda dengan anthoroposentris yang menempatkan manusia sebagai penguasa yang memiliki hak tidak terbatas terhadap alam, maka islam menempatkan manusia sebagai rahmat bagi alam..“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”(al Anbiyaa’:107)

Kita sudah sama-sama tahu bahwa, pemanfaatan alam yang berlebihan selama ini telah menimbulkan dampak negatif yang besar bagi manusia dan alam itu sendiri. Rusaknya hutan, bencana banjir, tercemarnya air, tanah dan udara. Semua itu merupakan contoh nyata dari hasil pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebih-lebihan. Allah SWT memang melarang kita berlebih-lebihan dalam memanfaatkan alam.“…dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (al An’am:141).

Akibat perbuatan manusia yang rakus manusia saat ini besok dan dimasa yang akan datang harus menanggung resiko menghadapi kekuatan alam yang maha dahsyat. Langkah strategis perlu dilakukan denagan melakukan pendekatan-pendekatan yang lebih spritualis. Hal ini dilakukan untuk mengimbangi strategi melalui jalur sains dan jalur-jalur lainnya yang mulai terhambat.

Pengendalian kerusakan lingkungan harus dimulai dari pengendalian manusia sebagai subjek atas lingkungan lingkungan itu sendiri. Adalah hal yang fatal ketika harus mendikotomikan antara peran lingkungan dan manusia, karena manusia adalah bagian dari tata ekosistem lingkungan itu sendiri dan itu sudah given tidak bisa diutak atik lagi.

Indonesia Kini

Ketika alam sudah marah, siapakah yang salah? Alamkah atau manusia terlalu serakah? Tapi fakta membuktikan, manusia seringkali memperlakukan alam secara tidak proporsional. Padahal semestinya manusia bersikap ramah terhadapnya.

Sebuah rekor yang patut disayangkan dan memalukan. Negara masuk buku rekor dunia (Guinness World Records) yang dirilis bulan September pada tahun ini. Indonesia dijuluki sebagai perusak hutan tercepat di dunia dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 % dari luas hutan di dunia.

Atas penilaian itu, kita sebenarnya tak perlu mencari alasan untuk memungkirinya. Bagaimana pun, kita mesti mengakui, kasus pembalakan hutan secara liar telah menjadi fakta. Sudah tak terhitung jumlah hutan yang digunduli oleh tangan-tangan usil tak bertanggung jawab. Dalam surat resmi berisi sertifikat yang dikirimkan oleh Green Peace tercatat, sekitar 1,8 juta hektare hutan yang dihancurkan pertahun mulai tahun 2000 sampai 2005, berarti kehancuran hutan sekitar 2 % atau 51 kilometer perhari. Sungguh luar biasa. Saking parahnya, anggota Komisi V (Bidang Kehutanan), Tamsil memperkirakan + 40-50 tahun lagi, hutan Indonesia akan pulih seperti sedia kala.

Lebih lanjut, Hasporo menjelaskan penyebab deforestasi (penurunan luas hutan) adalah illegal logging (penebangan hutan tanpa izin pemerintah), legal loging (penebangan hutan dengan izin melalui HPH -Hak Pengelola Hutan- dan HTI -Hutan Tanaman Industri) dan juga akibat kebakaran hutan. Kasus deforestasi ini, menurut juru kampanye hutan Green Peace, Bustar Maitar juga memberi dampak pada sumbangan emisi gas rumah kaca yang mengakibatkan global warming (pemanasan global). Dalam hal ini, Indonesia termasuk penyumbang terbesar ketiga setelah Amerika dan Tiongkok. Ini artinya, Indonesia juga turut ambil bagian atas terjadinya pemanasan global.

Jika masalah kerusakan hutan tak segera ditangani, bukan tidak mungkin hutan di Indonesia akan punah. Dalam hal ini, pemerintah sebenarnya telah mempunyai agenda berupa penghentian penebangan sementara (moratorium). Hanya saja, pemerintah masih lemah dalam penegakan hukum. Masih banyak penebang liar yang lolos dari jeratan hukum. Ini pasti ada pihak aparat yang menyusup menjadi si ‘Raja Hutan’.
Padahal, dampak kerusakan hutan ini sungguh berbahaya. Sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan rentan bencana. Baik bencana kekeringan, maupun tanah longsor. Sejak 1998 sampai pertengahan 2003, telah terjadi 647 bencana di Indonesia dengan korban 2.022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah. 85 % berupa banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan. (baca: JP, Jum’at 04 Mei 2007)

Selain itu, kerusakan hutan bisa menimbulkan polusi udara, yang menyebabkan mewabahnya pelbagai penyakit, seperti saluran pencernaan, influenza, pernafasan, lading paru-paru, jaringan kulit dan sebagainya. Kita tentu tak ingin dampak buruk ini terjadi di negeri kita. Karena itu, pemerintah harus secepatnya melakukan renovasi hutan, apalagi pada tahun ini, anggaran sebesar 4.2 triliyun dialokasikan untuk keperluan rehabilitasi hutan.

Relasi Peran dan Fungsi Agama (Islam) dengan Lingkungan

Ajaran Islam menawarkan kesempatan untuk memahami Sunatullah serta menegaskan tanggung jawab manusia. Ajaran Islam tidak hanya mengajarkan untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, tetapi juga mengajarkan aturan main dalam pemanfaatannya dimana kesejahteraan bersama yang berkelanjutan sebagai hasil keseluruhan yang diinginkan.

Salah satu Sunnah Rasullullah SAW menjelaskan bahwa setiap warga masyarakat berhak untuk mendapatkan manfaat dari suatu sumberdaya alam milik bersama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sepanjang dia tidak melanggar, menyalahi atau menghalangi hak-hak yang sama yang juga dimiliki oleh orang lain sebagai warga masyarakat. Penggunaan sumberdaya yang langka atau terbatas harus diawasi dan dilindungi

Pemahaman untuk melindungi lingkungan hidup merupakan bagian dari perwujudan ibadah manusia Sebagai khalifah, dimuka bumi ini.

Diperlukan pandangan yang arif dan komprehensif agar dapat melihat persoalan-persoalan di lingkungan secara bijaksana agar dapat memberikan solusi yang terbaik. Terdapat empat hal dalam memahami masalah lingkungan, diantaranya, pendekatan scientific (pembuktian empiris, penelitian, kajian ilmiah), konstruksi sosial budaya (interpretasi sosial budaya terhadap alam lingkungan), dan agama (teologi)

Peran agama dalam hal ini adalah memberikan ruang integrasi berbagai kearifan (keilmuan, budaya, politik, ekonomi, dsb), untuk menjadi kanal dari terbentuknya transformasi sosial, serta menyediakan wahana untuk memahami peristiwa alam contoh, kasus Merapi yang diinterpretasikan lain oleh setiap orangnya.

Masalah lingkungan diantara posisi agama dalam lingkungan, merupakan masalah non-market but moral issues. Sistem nilai dalam agama akan sangat membantu dalam mendukung keberlanjutan kehidupan manusia dengan memberikan kesempatan bagi generasi mendatang untuk menghuni bumi dengan segala lingkungannya yang masih asri. Tak ada satu ajaranpun yang mengajarkan atau memberi hak kita untuk memakai alam ini seenaknya.

Agama dan lingkungan, membentuk pandangan baru terhadap alam, misalnya melalui pemahaman kontekstual kitab-kitab suci dan tradisi religius keagamaan tentang alam, meningkatkan kesadaran untuk membangun basis untuk aksi, baik melalui fiqih lingkungan/teologi lingkungan, pemuka agama, dan lembaga keagamaan.

Islam menekankan umatnya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan berlaku arif terhadap alam (ecology wisdom). Dalam QS. al-Anbiya/21: 35-39 Allah mengisahkan kasus Nabi Adam. Adam telah diberi peringatan oleh Allah untuk tidak mencabut dan memakan buah khuldi. Namun, ia melanggar larangan itu. Akhirnya, Adam terusir dari surga. Ia diturunkan ke dunia. Di sini, surga adalah ibarat kehidupan yang makmur, sedangkan dunia ibarat kehidupan yang sengsara. Karena Adam telah merusak ekologi surga, ia terlempar ke padang yang tandus, kering, panas dan gersang. Doktrin ini mengingatkan manusia agar sadar terhadap persoalan lingkungan dan berikhtiar melihara ekosistem alam.

Selain itu kita juga harus mampu memahami konteks missi Islam sebagai Rahmatan Lil Alamiin atau rahmat bagi sekalian alam. Kata alam disini jelas bukan hanya makhluk hidup seperti mausia dan binatang, tetapi juga alam semesta. Bahkan jika melihat Al-Quran , dipastikan akan banyak ditemui ayat-ayat yang berbicara tentan lingkungan hidup.

Mantan Rais Aam PBNU KH Ali Yafie dalam bukunya Merintis Fiqih Lingkungan HIdup (2006) mengatakan, sekitar 95 ayat Al-Quran berbicara tentang lingkungan hidup beserta larangan-larangan Allah SWT untuk berbuat kerusakan. Antara lain QS Al-Baqoroh 11, 12, 27, 30, 60, 220, 251; Ali Imran : 63; Al-Maidah: 64; dan Al-A’raf : 56, 74, 85, 86, 103, 127, 142. Demikian pula hadist-hadist nabi yang berbicara tentang lingkungan hidup juga tidak sedikit. Salah satu contohnya adalah keteadanan rosulullah SAW yang menganjurkan pemeliharaan lingkungan . “ Barang siapa yang memotong pohon sidrah maka Allah akan meluruskan kepalanya tepat kedalam neraka” (HR. Abu Dawud dalam Sunan-Nya).

Jauh sebelumnya, Islam sebenarnya telah mewanti-wanti kepada kita agar berbuat ramah terhadap alam dan lingkungan sekitar. Islam telah memberi tuntunan bagaimana kita berinteraksi dengan lingkungan.

Jagad raya ini diciptakan oleh Tuhan supaya manusia bisa melanjutkan evolusinya hingga mencapai tujuan penciptaan. Karenanya, seluruh potensi alami memiliki manfaat untuk tujuan yang sama. Tak ada yang sia-sia. Pada surat Shad ayat 27, Tuhan berfirman, “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah”. Jadi, Tuhan tidak pernah menciptakan makhluk kecuali ada tujuan agung yang akan dicapai. Tuhan berfirman dalam surat al-Ahqaf ayat 3 :”Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan.”

Salah satu tujuan penciptaan alam adalah untuk menjaga keseimbangan. Penciptaan hewan, tumbuh-tumbuhan, air, batu-batuan dan gunung berfungsi sebagai pengokoh bumi agar tidak goyah dan terhindar dari banjir dan erosi. Langit dan hujan berguna untuk menumbuhkan tanaman di bumi. Semua itu bertujuan sebagai ekosistem kehidupan manusia. Semuanya telah diukur sesuai kadarnya. Sehingga, ketika salah satu komponen isi alam raya ini terganggu, maka yang lainya ikut terganggu pula (Zad al-Masir, IV, 58, )

Secara tersirat, pengaturan ciptaan itu dapat kita ketahui dari beberapa ayat dalam al-Quran, antara lain pada surat al-Hijr ayat 9: “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran.”

Dan pada surat Luqman ayat 10: “Dia (Allah) menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembangbiakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik”.

Kita harus menyadari bahwa semua makhluk hidup di muka bumi ini hidup serba ketergantungan antara satu dengan lainnya. Tanaman, hewan dan kekayaan alam lainnya butuh perawatan dari kita agar keberlangsungan hidupnya terjaga dengan baik, sebaliknya kita juga memerlukan kekayaan alam untuk bertahan hidup di muka bumi. Jadi, hubungan kita dengan alam bersifat simbiosis mutualisme (saling menguntungkan). Karenanya keseimbangan dan keserasian perlu dijaga agar tidak terjadi kerusakan.

Hal itu memang tugas kita sebagai khalifah fil ardhi. Kita dituntut untuk berhubungan baik dengan alam, baik sesama manusia serta dengan alam dan segala isinya. Kita diharapkan bisa berinteraksi secara harmonis dengan lingkungan. Bersikap ramah dan menjaga kelestarian alam. Tapi kenyataannya, manusia terlalu rakus. Membuat keonaran, kerusakan dan pencemaran serta mengeksploitasi alam secara tidak seimbang. Kekayaan alam hanya dipandang sebagai alat tujuan konsumtif belaka. Ia dianggap tak lebih sebagai piranti mesin-mesin ekonomi. Padahal, lebih dari itu, alam mempunyai peran atas ekosistem kehidupan manusia (Tafsir Alusi, I, 256, Tafsir Razi, XII, 264)

Islam tentu tak merestui tindakan sewenang-wenang dengan memperlakukan alam secara dzalim. Hal itu bisa kita lihat dari anjuran agama dalam beberapa hal. Antara lain: (1) Nabi memberi nama pada benda tak bernyawa agar si ‘empu’-nya juga dihormati layaknya manusia. (2) kita dilarang mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebihan (boros) sehingga mengakibatkan alam kehilangan keseimbangan (3) kita disuruh untuk menghindari dua kutukan, membuang kotoran di jalan dan di tempat orang berteduh (5) kita dilarang mengganggu proses yang dilakukan oleh makhluk sampai mencapai tujuan penciptaannya. Karenanya, kita tidak boleh memetik buah sebelum bisa dipakai untuk dimanfaatkan dan bunga sebelum berkembang. Begitulah salah satu cara Islam memberlakukan alam. Dan cara-cara yang lain tentu masih banyak. (baca: Quraisy Shihab; Membumikan al-Quran)

Lalu bagaimana Islam menanggapi para perusak alam (hutan, gunung, lautan, dll)? Memang, ketika ilmu pengetahuan dan tekhnologi semakin maju manusia akan merasa kuat dan akan melakukan segalanya tanpa perhitungan matang. Tuhanpun mengakui sikap gegabah manusia. Coba kita baca surat al-’Alaq ayat 6-7: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.”

Jauh sebelumnya, Islam telah melarang kita untuk berbuat kerusakan di muka bumi. Tuhan berfirman pada surat al-A’raf ayat 56 : “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.”

Menurut kajian ushul fiqh, ketika kita dilarang melakukan sesuatu berarti kita diperintah untuk melakukan kebalikannya. Misalnya, kita dilarang merusak alam berarti kita diperintah untuk melestarikan alam. Adapun status perintah tersebut tergantung status larangannya. Contoh, status larangan merusak alam adalah haram, itu menunjukkan perintah melestarikan alam hukumnya wajib. (Jam’ul Jawami’, I. 390)

Sementara itu, Fakhruddin al-Raziy dalam menanggapi ayat di atas, berkomentar bahwa, ayat di atas mengindikasikan larangan membuat mudharat (bahaya). Dan pada dasarnya, setiap perbuatan yang menimbulkan mudharat itu dilarang oleh agama. Al-Qurtubi menyebutkan dalam tasfirnya bahwa, penebangan pohon juga merupakan tindakan pengrusakan yang mengakibatkan adanya mudharat. Beliau juga menyebutkan bahwa mencemari air juga masuk dalam bagian pengrusakan. (al-Tafsir al-Kabir, IV, 108-109 ; Tafsir Al-Qurtubi, VII, 226)

Larangan di atas bukan lantas melarang kita memanfaatkan kekayaan jagat raya ini. Sebab kekayaan alam ini diperuntukkan bagi manusia. Kita dibolehkan mengambil manfaat dari kekayan alam ini asal tidak sampai berlebihan. Di samping itu, perlu dicatat untuk konteks Indonesia, memanfaatkan kekayaan alam harus mendapat izin dari pemerintah. Makanya, illegal loging dan pemanfaatan lain secara illegal haram hukumnya. Sebab, mengikuti peraturan yang telah ditetapkan pemerintah adalah sebuah kewajiban yang sangat mengikat, selama peraturan itu tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan demi kemaslahatan rakyat. (Hawasyi al-Syarwaniy, VII, 76 ; al-Fiqh al-Islamiy, V, 505)

Lalu, sanksi apa yang patut diberikan kepada perusak alam? Para pelaku kejahatan harus mendapat ganjaran yang setimpal. “Barang siapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan (telah diperbuat) itu.” (QS. Ghafir: 40)

Kalau kerusakan yang dilakukan tidak sampai mengakibatkan bahaya besar, maka hukuman yang bisa diterima cukup dengan di-ta’zir. Artinya pemerintah bisa menyanksi sesuai dengan kadar kejahatannya. Namun, jika perbuatannya mengakibatkan dampak besar, seperti penebangan pohon secara besar-besaran yang mengakibatkan banjir, longsor, gempa dan musibah lainnya, maka tak ada tawaran lain, pelakunya harus diberi hukuman yang berat. Bahkan, menurut fikih, perbuatan itu termasuk kejahatan besar dan pelakunya sudah sepantasnya dibunuh. Apalagi perbuatan itu telah dilakukan berkali-kali. Begitu juga, pihak keamanan (polisi hutan) yang mendukung aksi illegal logging juga harus dibunuh. Pembunuhan ini berlaku pada setiap tindak kriminal lainnya yang sulit dicegah kecuali dengan cara dibunuh. (Bughyah al-Mustarsyidin, 250; al-Fiqh al-Islamiy, VI, 200 ; al-Islam li Sa’id Hawwa, 585; al-Fiqh al-Islamiy, VI, 200).

Allah memerintahkan kita untuk memakmurkan bumi ini dengan mengelola dan memanfaatkannya dan tidak menyia-nyiakan potensinya. Apalagi sampai pada tingkat, lebih mementingkan kelangsungan hidup satwa atau tumbuhan dari pada kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia. “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (al Baqarah: 29). ” Dia menciptakan langit dan bumi dengan hak. Maha Tinggi Allah daripada apa yang mereka persekutukan. Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata. Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya. (an Nahl: 3-8).

Manusia (Kalifah) Berkewajiban Untuk Melindungi Lingkungan Hidup

Ajaran Islam menawarkan kesempatan untuk memahami Sunatullah serta menegaskan tanggung jawab manusia. Ajaran Islam tidak hanya mengajarkan untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, tetapi juga mengajarkan aturan main dalam pemanfaatannya dimana kesejahteraan bersama yang berkelanjutan sebagai hasil keseluruhan yang diinginkan.

Salah satu Sunnah Rasullullah SAW menjelaskan bahwa setiap warga masyarakat berhak untuk mendapatkan manfaat dari suatu sumberdaya alam milik bersama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sepanjang dia tidak melanggar, menyalahi atau menghalangi hak-hak yang sama yang juga dimiliki oleh orang lain sebagai warga masyarakat. Penggunaan sumberdaya yang langka atau terbatas harus diawasi dan dilindungi. Pemahaman untuk melindungi lingkungan hidup merupakan bagian dari perwujudan ibadah harus dikongkrtkan dalm bentuk dalil-dalil syar’iyah yang bisa dijadikan landasn teologis dalm konservasi lingkungan

Fiqih lingkungan (fiqh al-bi’ah) Sebuah Keharusan

“Kebersihan adalah sebagian dari iman.”
“Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan” (Al-Hadis).

Kasus bencana nasional Lumpur lapindo yang belum usai diporong, sidoarjo seakan merupakan sinyal yang dimaksudkan untuk menggugat kembali komitment agama (Islam) terhadap permasalahan ekologi. Mempertanyakan komitment agama terhadap lingkungan hidup kian menemukan mumentumnya mengingat akan datangnya musim hujan. Berbagai daerah di Tanah Air akan disibukkan dengan permasalahan klasik semisal banjir dan longsor. Padahal, sebelumnya kalau musim kemarau kita diuji dengan kekeringan dan kebakaran hutan.

Islam menekankan umatnya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan berlaku arif terhadap alam (ecology wisdom). Dalam QS. al-Anbiya/21: 35-39 Allah mengisahkan kasus Nabi Adam. Adam telah diberi peringatan oleh Allah untuk tidak mencabut dan memakan buah khuldi. Namun, ia melanggar larangan itu. Akhirnya, Adam terusir dari surga. Ia diturunkan ke dunia. Di sini, surga adalah ibarat kehidupan yang makmur, sedangkan dunia ibarat kehidupan yang sengsara. Karena Adam telah merusak ekologi surga, ia terlempar ke padang yang tandus, kering, panas dan gersang. Doktrin ini mengingatkan manusia agar sadar terhadap persoalan lingkungan dan berikhtiar melihara ekosistem alam.

Akan tetapi, doktrin tersebut tidak diindahkan. Perusakan lingkungan tidak pernah berhenti. Eksplorasi alam tidak terukur dan makin merajalela. Dampaknya, ekosistem alam menjadi limbung. Ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Alam akan menjadi ancaman kehidupan yang serius. Ia senantiasa siap mengamuk sewaktu-waktu.

Karena itulah, merumuskan sebuah fiqh lingkungan (fiqh al-biah) menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Yaitu, sebuah fiqh yang menjelaskan sebuah aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim berdasarkan teks syar’i dengan tujuan mencapai kemaslahatan dan melestarikan lingkungan.

Dalam rangka menyusun fiqh lingkungan ini (fiqh al-biah), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, rekonstruksi makna khalifah. Dalam al-Qur�an ditegaskan bahwa menjadi khalifah di muka bumi ini tidak untuk melakukan perusakan dan pertumpahan darah. Tetapi untuk membangun kehidupan yang damai, sejahtera, dan penuh keadilan. Dengan demikian, manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi ini secara otomatis mencoreng atribut manusia sebagai khalifah (QS. al-Baqarah/2: 30). Karena, walaupun alam diciptakan untuk kepentingan manusia (QS. Luqman/31: 20), tetapi tidak diperkenankan menggunakannya secara semena-mena. Sehingga, perusakan terhadap alam merupakan bentuk dari pengingkaran terhadap ayat-ayat (keagungan) Allah, dan akan dijauhkan dari rahmat-Nya (QS. al-A�raf/7: 56).

Karena itulah, pemahaman bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi ini bebas melakukan apa saja terhadap lingkungan sekitarnya sungguh tidak memiliki sandaran teologisnya. Justru, segala bentuk eksploitasi dan perusakan terhadap alam merupakan pelanggaran berat. Sebab, alam dicipatakan dengan cara yang benar (bi al-haqq, QS. al-Zumar/39: 5), tidak main-main (lab, QS. al-Anbiya/21: 16), dan tidak secara palsu (QS. Shad/38: 27).

Kedua, ekologi sebagai doktrin ajaran. Artinya, menempatkan wacana lingkungan bukan pada cabang (furu), tetapi termasuk doktrin utama (ushul) ajaran Islam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi dalam Riayah al-Biah fiy Syariah al-Islam (2001), bahwa memelihara lingkungan sama halnya dengan menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid al-syariah). Sebab, kelima tujuan dasar tersebut bisa terejawantah jika lingkungan dan alam semesta mendukungnya. Karena itu, memelihara lingkungan sama hukumnya dengan maqashid al-syariah. Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan, ma la yatimmu al-wajib illa bihi fawuha wajibun (Sesuatu yang membawa kepada kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya wajib).

Ketiga, tidak sempurna iman seseorang jika tidak peduli lingkungan. Keberimanan seseorang tidak hanya diukur dari banyaknya ritual di tempat ibadah. Tapi, juga menjaga dan memelihara lingkungan merupakan hal yang sangat fundamental dalam kesempurnaan iman seseorang. Nabi bersabda bahwa kebersihan adalah bagian dari iman. Hadits tersebut menunjukkan bahwa kebersihan sebagai salah satu elemen dari pemeriharaan lingkungan (riayah al-biah) merupakan bagian dari iman. Apalagi, dalam tinjauan qiyas aulawi, menjaga lingkungan secara keseluruhan, sungguh benar-benar yang sangat terpuji di hadapan Allah.

Keempat, perusak lingkungan adalah kafir ekologis (kufr al-biah). Di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah adanya jagad raya (alam semesta) ini. Karena itulah, merusak lingkungan sama halnya dengan ingkar (kafir) terhadap kebesaran Allah (QS. Shad/38: 27). Ayat ini menerangkan kepada kita bahwa memahami alam secara sia-sia merupakan pandangan orang-orang kafir. Apalagi, ia sampai melakukan perusakan dan pemerkosaan terhadap alam. Dan, kata kafir tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Allah, tetapi juga ingkar terhadap seluruh nikmat yang diberikanNya kepada manusia, termasuk adanya alam semesta ini (QS. Ibrahim/14: 7).

Melihat konsepsi diatas Al-Quran telah membuat prinsip-prinsip etika dalam menjaga dan berhubungan antara manusia dengan makhlik hidup lainnya, yang bisa membentuk dasar-dasar etika bagi konservasi lingkungan hidup

Al-hasil, kalau kita tidak ingin alam ini kembali murka, maka kita harus merawatnya dengan baik. Bersahabatlah dengan lingkungan sekitar dengan ramah. Pemerintah jangan sampai melupakan komitmennya untuk menjaga kelestarian alam khususnya hutan. Jangan hanya membuat agenda, sementara realisasinya tidak ada. Lakukan reboisasi dan sanksi tegas para perusak alam. Masyarakat juga harus sadar terhadap bahaya perusakan hutan serta berpartisipasi untuk membangun kesadaran yang ramah lingkungan.

Sungguh, akan sangat efektif jika isu keagamaan bisa menjadi entry point bagi isu penyelamatan dan konservasi lingkungan hidup, mengingat agama merupakan salah satu ranah yang pada saat-saat tertentu mampu menjadi rem yang ampuh bagi hasrat manusia untuk melakukan suatu hal yang bersifat merusak.

Memang, tidak selamanya agama mampu memerankan perannya yang semacam itu. Namun, ketika jalur sains, atau jalur-jalur lainnya terhambat, ‘pintu agama’ bisa menjadi salah satu pintu untuk masuk ke dalam jiwa setiap orang, yang pada akhirnya mempengaruhinya agar tidak merusak lingkungan., atau dalam konteks keindonesiaan bermakna Fiqih Lingkungan Hidup, atau Islamic Environmental Law, merupakan salah satu pranata yang bisa mendukung visi tentang sinergi antara isu keagamaan dan isu konservasi lingkungan hidup tadi.

Manusia Dan Lingkungan Dalam Bingkai Al-Islam

Secara ekologis, manusia adalah bagian dari lingkungan hidup. Komponen yang ada disekitar manusia yang sekaligus sebagai sumber mutlak kehidupannya merupakan lingkungan hidup manusia. Lingkungan hidup inilah yang menyediakan berbagai Sumber Daya Alam (SDM) yang menjadi daya dukung bagi kehidupan manusia dan komponen lainnya. Kelangsungan hidup manusia tergantung dari keutuhan lingkungannya, sebaliknya keutuhan lingkungan tergantung bagaiman kearifan manusia dalam mengelolanya. Oleh karena itu, lingkungan hidup tidak semata mata dipandang sebagai penyedia Sumber Daya Alam yang harus di eksploitasi, tetapi juga sebagai tempat hidup yang mensyaratkan adanya keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungannya seperti yang digambarkan dalam Al-Quran.

Melalui Kitab Suci Al-Qur’an, Allah telah memberikan informasi spiritual kepada manusia untuk bersikap ramah terhadap lingkungan. Informasi tersebut memberikan sinyalamen bahwa manusia harus selalu menjaga dan melestarikan lingkungan agar tidak menjadi rusak, tercemar bahkan menjadi punah, sebab apa yang Allah berikan kepada manusia semata-mata merupakan suatu amanah. Melalui Kitab Suci yang Agung ini (Al-Qur’an) membuktikan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kepada umatnya untuk bersikap ramah lngkungan. Firman Allah SWT Di dalam Al-Qur’an sangat jelas berbicara tentang hal tersebut. Sikap ramah lingkungan yang diajarkan oleh agama Islam kepada manusia dapat dirinci sebagai berikut :

1. Agar manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya

Dalam surat Ar Ruum ayat 9 “ Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri. Pesan yang disampaikan dalam surat Ar Ruum ayat 9 di atas menggambarkan agar manusia tidak mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan yang dikwatirkan terjadinya kerusakan serta kepunahan sumber daya alam, sehingga tidak memberikan sisa sedikitpun untuk generasi mendatang. Untuk itu Islam mewajibkan agar manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya.Mengolah serta melestarikan lingkungan tercermin secara sederhana dari tempat tinggal (rumah) seorang muslim. Rasulullah SAW menegaskan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani :”Dari Abu Hurairah : jagalah kebersihan dengan segala usaha yang mampu kamu lakukan. Sesungguhnya Allah menegakkan Islam di atas prinsip kebersihan. Dan tidak akan masuk syurga, kecuali orang-orang yang bersih” . (HR. Thabrani). Dari Hadits di atas memberikan pengertian bahwa manusia tidak boleh kikir untuk membiayai diri dan lingkungan secara wajar untuk menjaga kebersihan agar kesehatan diri dan keluarga/masyarakat kita terpelihara.Demikian pula, mengusahakan penghijauan di sekitar tempat tinggal dengan menanamkan pepohonan yang bermanfaat untuk kepentingan ekonomi dan kesehatan, disamping juga dapat memelihara peredaran suara yang kita hisap agar selalu bersih, bebas dari pencemaran.Dalam sebuah Hadits disebutkan :”Tiga hal yang menjernihkan pandangan, yaitu menyaksikan pandangan pada yang hijau lagi asri, dan pada air yang mengalir serta pada wajah yang rupawan (HR. Ahmad)

2. Agar manusia tidak berbuat kerusakan terhadap lingkungan

Di dalam surat Ar Ruum ayat 41 Allah SWT memperingatkan bahwa terjadinya kerusakan di darat dan di laut akibat ulah manusia. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Serta surat Al Qashash ayat 77 menjelaskan sebagai berikut : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. Firman Allah SWT di dalam surat Ar Ruum ayat 41 dan surat Al Qashash ayat 77 menekankan agar manusia berlaku ramah terhadap lingkungan (environmental friendly) dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi ini. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Anas, dijelaskan bahwa : ”Rasulullah ketika berwudhu’ dengan (takaran air sebanyak) satu mud dan mandi (dengan takaran air sebanyak) satu sha’ sampai lima mud” (HR. Muttafaq ’alaih). Satu mud sama dengan 1 1/3 liter menurut orang Hijaz dan 2 liter menurut orang Irak (lihat Lisanul Arab Jilid 3 hal 400). Padahal hasil penelitian yang dilakukan oleh Syahputra (2003) membuktikan bahwa rata-rata orang berwudhu’ sebanyak 5 liter. Hal ini membuktikan bahwa manusia sekarang cenderung mengekploitasi sumber daya air secara berlebihan, atau dengan kata lain, setiap manusia menghambur-hamburkan air sebanyak 3 sampai 3 2/3 liter setiap orangnya setiap kali mereka berwudhu’. Dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Nabi pernah bersabda :”Hati-hatilah terhadap dua macam kutukan; sahabat yang mendengar bertanya : Apakah dua hal itu ya Rasulullah ? Nabi menjawab : yaitu orang yang membuang hajat ditengah jalan atau di tempat orang yang berteduh” Di dalam Hadits lainnya ditambah dengan membuang hajat di tempat sumber air. Dari keterangan di atas, jelaslah aturan-aturan agama Islam yang menganjurkan untuk menjaga kebersihan dan lingkungan. Semua larangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah agar tidak mencelakakan orang lain, sehingga terhindar dari musibah yang menimpahnya.Islam memberikan panduan yang cukup jelas bahwa sumber daya alam merupakan daya dukung bagi kehidupan manusia, sebab fakta spritual menunjukkan bahwa terjadinya bencana alam seperti banjir, longsor, serta bencana alam lainnya lebih banyak didominasi oleh aktifitas manusia. Allah SWT Telah memberikan fasilitas daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, secara yuridis fiqhiyah berpeluang dinyatakan bahwa dalam perspektif hukum Islam status hukum pelestarian lingkungan hukumnya adalah wajib (Abdillah, 2005 : 11-12).

3. Agar manusia selalu membiasakan diri bersikap ramah terhadap lingkungan

Di dalam Surat Huud ayat 117, Allah SWT berfirman : ‘Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan”.

Fakta spritual yang terjadi selama ini membuktikan bahwa Surat Huud ayat 117 benar-benar terbukti. Perhatikan bencana alam banjir di Jakarta, tanah longsor yang di daerah-daerah di Jawa Tengah, intrusi air laut, tumpukan sampah dimana-mana, polusi udara yang tidak terkendali, serta bencana alam di daerah atau di negara lain membuktikan bahwa Allah akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, melainkan penduduknya terdiri dari orang-orang yang berbuat kebaikan terhadap lingkungan.Dalam suatu kisah diriwayatkan, ada seorang penghuni surga. Ketika ditanyakan kepadanya perbuatan apakah yang dilakukannya ketika di dunia hingga ia menjadi penghuni surga?. Dia menjawab bahwa selagi di dunia, ia pernah menanam sebuah pohon. Dengan sabar dan tulus, pohon itu dipeliharanya hingga tumbuh subur dan besar. Menyadari akan keadaannya yang miskin ia teringat bunyi sebuah hadits Nabi, “Tidak seorang muslim yang menanam tanaman atau menyemaikan tumbuh-tumbuhan, kemudian buah atau hasilnya dimakan manusia atau burung, melainkan yang demikian itu adalah shodaqoh baginya”. Didorong keinginan untuk bersedekah, maka ia biarkan orang berteduh di bawahnya, dan diikhlaskannya manusia dan burung memakan buahnya. Sampai ia meninggal pohon itu masih berdiri hingga setiap orang (musafir) yang lewat dapat istirahat berteduh dan memetik buahnya untuk dimakan atau sebagai bekal perjalanan. Burung pun ikut menikmatinya. Riwayat tersebut memberikan nilai yang sangat berharga sebagai bahan kontemplasi, artinya dengan adanya kepedulian terhadap lingkungan memberikan dua pahala sekaligus, yakni pahala surga dunia berupa hidup bahagia dan sejahtera dalam lingkungan yang bersih, indah dan hijau, dan pahala surga akhirat kelak di kemudian hari.Untuk mendapatkan dua pahala tersebut seorang manusia harus peduli terhadap lingkungan, apalagi manusia telah diangkat oleh Allah sebagai khalifah. Hal ini dapat dilihat pada surat Al-Baqarah ayat 30 berikut : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”. Manusia dituntut untuk memelihara, membimbing dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud dan tujuan penciptaanNya. Karena itu, Nabi Muhammad SAW melarang memetik buah sebelum siap untuk dimanfaatkan, memetik kembang sebelum mekar, atau menyembelih binatang yang terlalu kecil. Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan agar selalu bersikap bersahabat dengan segala sesuatu sekalipun tidak bernyawa. Al-Qu’an tidak mengenal istilah ”penaklukan alam” karena secara tegas Al-Qur’an menyatakan bahwa yang menaklukan alam untuk manusia adalah Allah. Secara tegas pula seorang muslim diajarkan untuk mengakui bahwa ia tidak mempunyai kekuasaan untuk menundukkan sesuatu kecuali dengan penundukan Allah (Shihab, 1996 : 492-493). Dari beberapa argument an dalil sahih diatas bahwa memelihara lingkungan adalah kewajiban bagi setiap individu manusia, hukumnya adalah fardhu Ain.

Secara ekologis pelestarian lingkungan merupakan keniscayaan ekologis yang tidak dapat ditawar oleh siapapun dan kapanpun. Oleh karena itu, pelestarian lingkungan tidak boleh tidak harus dilakukan oleh manusia. Sedangkan secara spiritual fiqhiyah Islamiyah Allah SWT memiliki kepedulian ekologis yang paripurna. Paling tidak dua pendekatan ini memberikan keseimbangan pola pikir bahwa lingkungan yang baik berupa sumber daya alam yang melimpah yang diberikan Allah SWT kepada manusia tidak akan lestari dan pulih (recovery) apabila tidak ada campur tangan manusia. Hal ini diingatkan oleh Allah dalam Surat Ar Ra’d ayat 11 : “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.

Umat Islam selalu berkeyakinan untuk tidak terperosok pada kesalahan yang kedua kalinya. Kejadian yang sangat dasyat yang kita alami akhir-akhir ini, sebut saja bencana alam Tsunami misalnya, pencemaran udara, pencemaran air dan tanah, serta sikap rakus pengusaha dengan menebang habis hutan tropis melalui aktifitas illegal logging, serta sederet bentuk kerusakan lingkungan hidup lainnya, haruslah menjadi pelajaran yang sangat berharga. Hal ini ditegaskan oleh dalam firmanNya di dalam surat Al-Hasyr ayat 2 : ”Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”

Bersikaplah menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya, tidak berbuat kerusakan terhadap lingkungan, dan selalu membiasakan diri bersikap ramah terhadap lingkungan.

*) Penulis adalah Mahasiswa Administrasi Negara Fisip Universitas Jember, dan Ketua PPD          HMI Cabang Jember